Membaca pemberitaan media beberapa hari ini, ada 2 kasus yang paling menonjol, yaitu kasus korupsi impor daging sapi dan soal penggusuran warga di bantaran waduk Pluit. Kasus korupsi impor daging sapi menjadi topik hangat karena ada perlawanan dari PKS yang merasa didzolimi oleh KPK dan bahkan melaporkan Johan Budi – Jubir KPK ke Mabes Polri. Demikian juga dengan soal penggusuran warga di bantaran waduk Pluit yang beberapa hari ini sudah melibatkan Komnas HAM.
Yang menarik buat saya adalah, bagaimana kita ‘membaca angin’ dalam melihat perseteruan mereka ini. Saya ingin mengutip kalimat yang terkenal dari SunTzu, panglima perang China kuno, dalam bukunya yang terkenal ‘The Art of War’ yang mengatakan “Kenali dirimu, kenali musuhmu. Seribu pertempuran seribu kemenangan”
Kembali ke konteks dua berita di atas, para pihak yang sedang bertikai hendaknya bisa memahami posisi masing-masing, ini yang saya maksud ‘membaca angin’
Saat ini, KPK adalah satu-satunya lembaga penegak hukum yang paling dipercaya oleh masyarakat, dibandingkan Kepolisian dan Kejaksaan yang dianggap kewalahan mengusut kasus korupsi, kalo tidak mau dikatakan gagal total. KPK mendapat dukungan yang luar biasa dari masyarakat. Ini dilihat dari dukungan yang diberikan kepada KPK dalam kasus kriminalisasi pimpinan KPK dalam lakon Cicak vs Buaya. Sang Buaya bahkan akhirnya kini masuk penjara.
Demikian juga saat lakon Cicak vs Buaya jilid 2, saat KPK mengusut kasus korupsi di Korlantas, penyidik KPK malah mau dikriminalisasi lagi oleh kelompok Buaya. Tapi dukungan masyarakat terlalu kuat dan bahkan memaksa Presiden SBY turun tangan. Kini KPK sedang melanjutkan kasus tersebut di pengadilan dan team Buaya sudah diam saja.
Kita semua terkaget-kaget saat KPK menangkap AF, dengan uang 1 M di tangan, yang patut diduga sebagai bagian dari suap untuk mendapatkan jatah kuota impor daging sapi dari Kementan dengan pengaruh LHI – Presiden PKS, yang kemudian ikut ditahan besoknya. Saat menonton tayangan di TV saat penjemputan LHI dari kantor DPP PKS, saya membayangkan akan ada perlawanan dari kubu PKS, saat Presiden mereka dijemput dan kemudian ditahan, tapi ternyata tidak terjadi apa-apa.
Perlawanan baru terjadi, saat KPK hendak menyita asset mobil milik LHI yang diparkir di halaman kantor DPP PKS. KPK sampai dua kali gagal saat hendak mengeksekusi penyitaan mobil tersebut karena dihalangi oleh PKS.
Tapi perlawanan PKS kali ini sia-sia saja, karena lawannya adalah KPK, lembaga yang paling disayang masyarakat Indonesia saat ini. PKS kemudian dihujat kiri kanan depan belakang, dari delapan penjuru angin. Tampaknya PKS menyadari ini dan kemudian berubah strategi membiarkan KPK menyita kendaraan kendaraan tersebut.
Bahkan Presiden PKS yang baru AM, juga akhirnya mau diperiksa oleh KPK meski sebagai saksi. Yang kemudian paling mencengangkan adalah Ketua Majelis Syura PKS HA, bahkan ikut diperiksa juga sebagai saksi. HA adalah tokoh yang paling berpengaruh di PKS, seperti Megawati di PDIP, SBY di Demokrat, Amien Rais di PAN, GusDur di NU/PKB, Soeharto di Golkar, Wiranto di Hanura dan Prabowo di Gerindra. Jadi pemanggilan dan pemeriksaan terhadap HA, adalah jelas tamparan keras buat PKS.
Seingat saya, Megawati saja bahkan menolak saat dipanggil ke KPK untuk pemeriksaan suatu kasus, kalo ga salah kasus travellers’ cheque pemilihan Deputi Gubernur BI, yang banyak melibatkan kader PDIP. Entah bagaimana caranya, tapi Megawati ga pernah diperiksa di KPK. Dan seingat saya, belum pernah ada tokoh utama suatu partai politik yang diperiksa oleh penegak hukum untuk kasus yang melibatkan kader partai itu. Kebayang ga bagaimana kagetnya kita kalo suatu saat SBY dipanggil ke KPK, diperiksa sebagai saksi untuk kasus korupsi yang banyak melibatkan kader Partai Demokrat?
Kita tinggalkan KPK dan PKS, sekarang kita lihat soal penggusuran warga di bantaran waduk Pluit. Sejak Gubernur Jokowi dan Wakil Gubernur Ahok di lantik Oktober 2012, warga Jakarta sudah menaruh harapan tinggi agar mereka berdua bisa mengatasi persoalan akut Jakarta yaitu macet, transportasi umum dan banjir yang menjadi langganan setiap musim hujan. Ujian itu tidak menunggu lama, beberapa bulan menjabat, awal tahun 2013, Jakarta dihajar banjir besar dan bahkan lumpuh beberapa hari. Sekarang banjir sudah lewat, meski dalam skala kecil masih terjadi di beberapa area, baik akibat hujan maupun kiriman dari Bogor.
Salah satu usaha mengatasi banjir ibukota ini, duet Jokowi dan Ahok ingin menormalisasi waduk Pluit, yang sekarang kapasitas waduk sudah jauh menurun karena pendangkalan dan juga di beberapa area diuruk dan dijadikan area pemukiman dan tempat usaha secara illegal.
Pemprov bertekad memindahkan mereka, warga yang selama ini tinggal di waduk Pluit ke Rusun sewa milik Pemprov di Marunda yang disubsidi dan bahkan diisi lengkap perabotan seperti TV dan kulkas. Sebagian warga sudah pindah, tapi ternyata masih ada yang bertahan dan diduga dikendalikan oleh para pemilik bangunan/kontrakan yang akan kehilangan penghasilan kalo penyewa mereka pindah ke Rusun. Jadi mereka mengajukan tuntutan uang kerohiman, semacam uang kebijaksanaan sebagai ganti rugi atas bangunan milik mereka yang dibangun di tanah negara dan akan dibongkar.
Jokowi dan Ahok menolak membayar uang kerohiman/ganti rugi ini, dan hanya menawarkan warga yang perlu tempat tinggal agar pindah ke Rusun dengan perjanjian tidak boleh dioper sewa ke orang lain. Pihak yang merasa dirugikan, pemilik lahan/bangunan di waduk Pluit ini kemudian melapor ke Komnas HAM yang ditanggapi oleh Komnas HAM dengan mengkritik cara Jokowi dan Ahok menangani soal warga waduk Pluit ini.
Perhatikan foto di atas, perwakilan warga yang sedang mengadu ke Komnas HAM, seorang ibu dengan smartphone di tangan kiri dan perhiasan cincin di tangan kanan. Bukan warga miskin kan? :p
Patut diingat, Komnas HAM merupakan salah satu lembaga yang sangat dihormati sejak masa Soeharto. Komisioner dipilih dari orang-orang berintegritas tinggi. Saat itu, lawan utama Komnas HAM adalah ABRI yang dituduh sering melanggar HAM rakyat. Tapi Komnas HAM edisi sekarang ini yang paling kacau, wajah dan nama yang ga jelas, bahkan konflik internal karena rebutan fasilitas. Dan mereka yang sekarang ini, berdiri di depan, menyerang Jokowi Ahok, yang sekarang lagi jadi kesayangan dan harapan warga ibukota.
Di beberapa social media, orang bahkan sudah mempertanyakan integritas Komnas HAM ini sampai melibatkan diri dalam kasus waduk Pluit ini, yang jelas-jelas warga menduduki waduk / tanah negara dan menjadi penyebab banjir yang menyengsarakan banyak orang Jakarta. Bahkan sempat ada yang menduga ada uang di balik keterlibatan Komnas HAM karena diduga warga yang menolak pindah ke Rusun Marunda ditunggangi oleh mereka yang menguasai lahan untuk kontrakan maupun tempat penampungan alat berat. Bayangkan lembaga yang begitu terhormat dulu, saat berhadapan dengan Jokowi Ahok, langsung mendapat cibiran dan tudingan.
Kalo mereka bisa ‘membaca angin’, komisioner Komnas HAM pasti tidak akan mengambil posisi berhadap-hadapan dengan Jokowi-Ahok. Dua orang ini, sama seperti KPK, kalo bisa jangan sampai berhadap-hadapan dengan mereka. Bahkan kalo mereka melakukan kesalahan pun, tampaknya publik ga akan ambil pusing, asalkan mereka masih on the track.
Lihat saja komentar Ahok yang menyebut tuntutan pembagian lahan oleh warga sebagai cara komunis, yang kalo diucapkan oleh pejabat lain, habislah pejabat itu! Pejabat itu pasti akan dikecam delapan penjuru sebagai antek ORBA. Tapi karena ini Ahok dan dia sedang membela kepentingan orang banyak, soal cara komunis itu tidak jadi masalah besar.
Demikian juga dengan KPK, apakah mereka membawa dokumen yang diperlukan saat penyitaan atau tidak? saya yakin publik tidak perduli, dan bila PKS melawan, pasti akan dikecam habis-habisan.
Ini bukan soal salah benar, ini soal realita. Harus bisa ‘Baca Angin’