Karena punya sedikit pengalaman sebagai praktisi pemasar property, mau sharing sedikit terkait simpang siur pemberitaan kasus dugaan korupsi jual beli sebagian lahan RS Sumber Waras oleh Pemprov DKI. Mudah-mudahan sedikit pengetahuan ini bisa membantu fanboys dan haters Ahok supaya bisa berdiskusi lebih cerdas.
NJOP = Nilai Jual Objek Pajak, yang ditentukan oleh pemerintah sebagai dasar perhitungan untuk menentukan berapa besar Pajak Bumi dan Bangunan (PBB) yang harus dibayar oleh pemilik lahan setiap tahun.
NJOP ini juga sebagai nilai minimum sebagai dasar perhitungan pembayaran pajak bila ada transaksi jual beli tanah.
Nilai transaksi yang terjadi, bisa di atas ataupun di bawah nilai NJOP ini. Aturannya, Pajak Penghasilan (PPh) yang harus dibayar penjual dan Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan (BPHTB) adalah sebesar 5% dari nilai transaksi. Apabila ternyata nilai transaksi lebih rendah dari NJOP, nilai pajak yang harus dibayarkan mengacu ke NJOP, karena itu adalah nilai jual objek pajak yang ditetapkan dan diakui pemerintah. Ini untuk menghindari orang yang tentunya akan mengakui nilai transaksi yang lebih rendah supaya bisa membayar pajak yang lebih rendah. Sehingga aturan simple nya, pajak dibayar sesuai nilai transaksi atau NJOP, mana yang lebih besar. Namun kenyataan di lapangan, orang akhirnya menggunakan atau melaporkan nilai transaksi sebesar NJOP atau sedikit lebih besar dari NJOP sebagai dasar perhitungan pajak, yang mungkin bisa jauh berbeda dengan harga pasaran yang terjadi dalam transaksi tersebut.
Nah, warga DKI masih ingat kan, kita terkaget kaget saat menerima tagihan PBB tahun 2014 yang naik luar biasa tinggi, kurang lebih 80%, sehingga nilai NJOP di Jakarta sudah mendekati harga pasaran tanah.
Kembali ke transaksi lahan RS Sumber Waras, ini memang menarik, karena Pemprov DKI kena sendiri akibat dari kebijakan mereka menaikkan NJOP ini. NJOP lahan RSSW yang tahun 2013 sebesar 12 jutaan menjadi 20 jutaan di tahun 2014.
Saat transaksi dengan Ciputra tahun 2013, lahan RSSW ini dijual 15 juta per meter lebih tinggi dari NJOP 2013 yang 12 juta per meter, artinya dianggap nilai pasaran lahan tersebut lebih tinggi dari NJOP. Transaksi ini batal karena Ciputra tidak berhasil mendapatkan ijin pendirian Mall/Hotel di area ini karena tidak sesuai peruntukannya. Mari kita lihat dari sisi Ciputra, dia pasti kesal karena gagal mendapatkan lahan yang diincar karena Pemprov ga mau mengubah peruntukan lahan itu untuk hotel/mall, eh ternyata lahan tersebut akhirnya malah dibeli oleh Pemprov sendiri. Ciputra kalo boleh curhat, pasti merasa dicurangi Pemprov DKI yang tidak memberikan ijin karena justru mengincar lahan tersebut hehehe.
Lalu bagaimana kalo pemerintah yang ingin membeli suatu lahan? Biasanya sengketa pembebasan lahan yang terjadi di mana mana adalah pemerintah ingin membebaskan suatu lahan dengan harga sesuai NJOP karena inilah nilai resmi yang ditetapkan oleh pemerintah, sedangkan pemilik lahan tentunya ingin dengan harga pasaran. Nah berapa nilai pasaran yang tepat, inilah sumber sengketa tersebut.
Pertanyaan sederhana, apakah bisa/boleh dan etis, pemerintah saat ingin membeli suatu lahan, tapi ingin membeli di bawah harga NJOP yang ditetapkan sendiri oleh pemerintah sebagai dasar pungutan pajak? Silakan dijawab sendiri yah 🙂
Sama hal nya dengan topik bahwa sebagian lahan yang dibeli oleh Pemprov DKI itu berada di sisi Jalan Tomang Utara yang nilai NJOP nya lebih rendah 7 jutaan per meter. Yang jelas bertahun tahun, pemerintah memungut PBB atas lahan seluas 6 hektaran tersebut dengan asumsi NJOP tanah tesebut terletak di Jalan Kyai Tapa yang lebih tinggi nilainya, lalu apakah boleh/bisa dan etis saat pemerintah ingin membeli sebagian lahan tersebut dengan harga NJOP 7 jutaan karena salah satu sisi lahan tersebut berada di Jalan Tomang Utara yang nilainya lebih rendah? 🙂
Saya juga membaca diskusi soal sertifikat HGB (Hak Guna Bangunan) lahan RSSW ini akan habis masa berlakunya tahun 2018, sehingga ada pertanyaan kenapa ga menunggu tahun 2018 dan pemerintah tinggal ambil balik lahan tersebut dengan tidak usah memperpanjang sertifikat HGB tersebut. Sebagai informasi, semua sertifikat tanah yang atas nama perusahaan atau badan hukum, itu pasti status nya HGB atau HGU, tidak bisa mendapatkan status Hak Milik. Sehingga semua rumah dan ruko yang dijual oleh semua pengembang itu sertfikatnya HGB. Nah, apakah saat habis masa berlakunya rumah/ruko/apartment yang anda beli itu, lahan tersebut bisa diambil balik begitu saja oleh pemerintah atau negara? 🙂
Nah, kalo dugaan korupsi jual beli lahan RSSW ini menyangkut pelanggaran administrasi, menguntungkan Yayasan RSSW yang mendapat nilai transaksi lebih besar sehingga dianggap merugikan keuangan negara, saya ga ikutan komentar karena ga punya pengetahuan di bidang hukum ini.
Buat haters, saya kasih sedikit bahan yah, lihat dokumen Keterangan NJOP di atas, tuh Yayasan RSSW ada tunggakan PBB sejak 1994 – 1999 dan 2013 – 2014. Lihat tuh kewajiban PBB tahun 2014 setelah kenaikan NJOP, setahun Yayasan RSSW harus membayar PBB 4M+ tuh. Coba di check apakah mereka sudah melunasi kewajiban PBB dalam transaksi tersebut yang totalnya 10M+. Atau sekalian ditanyakan, kenapa membiarkan tunggakan selama dan sebesar itu? Etapi tunggakan itu sebagian besar dari jaman Gubernur sebelum Ahok yah hehehehe
Kalo ada uraian yang keliru, mohon berkenan memberikan koreksi. Khusus buat fanboys dan haters, semoga ini bisa sedikit mencerahkan yah 🙂