SUARA GOLPUT UNTUK PILPRES 2014

 

Pilpres 2014

Dalam berbagai kesempatan ngobrol dengan siapapun, termasuk dalam berbagai posting saya di social media, saya selalu terbuka menjelaskan posisi saya yang Golput dalam Pemilihan Presiden 2014. Saya siap berdiskusi dengan siapapun untuk mempertahankan pendapat politik saya. Tapi ada pertanyaan dari seseorang yang membuat saya kesulitan menjelaskan.

Iya, pertanyaan dari anak saya Gabriella Putri Sungkono, 11 tahun, “Daddy pilih siapa nanti yang jadi Presiden?” Nah, bagaimana menjelaskan soal politik dan Golput ini kepada anak 11 tahun? Akhirnya saya cuman menjawab, “Daddy belum putusin”. Dan segera mengalihkan pembicaraan ke soal lain. Jadi tulisan ini adalah tangung jawab moral saya untuk menjelaskan sikap politik saya yang mungkin baru bisa dimengerti Gaby 5-10 tahun mendatang.

Saya sudah tertarik membaca soal politik sejak kecil, saat kawans sebaya membaca komik dan cerita anak-anak lainnya, saya membaca Harian Sinar Harapan langganan Papa. Siaran berita di TVRI jaman dulu seperti Dunia Dalam Berita itu adalah tontonan wajib sejak dulu sampai muncul TV Swasta RCTI dengan Seputar Indonesia. Saya dulu juga sangat sering mendengar cerita Papa soal kekejaman yang terjadi saat penumpasan pengikut PKI setelah kejadian G30S/PKI. Banyak tetangga dan keluarga teman Papa yang jadi korban, tersangkut PKI meskipun hanya simpatisan yang ga ngerti apa-apa. Bahkan ada juga kawannya yang kena jaring hanya karena sering ikut acara bernyanyi di organisasi pemuda pemudi underbouw PKI.  Orang-orang yang mungkin bisa dikatakan buta politik (yah kayak fanboys mumet jaman sekarang) tapi hanya karena senang nyanyi bareng di organisasi pemuda underbouw PKI, dan itu harus dibayar mahal, sangat mahal sekali dengan  nyawa. Dan ada satu ungkapan yang Papa sampaikan soal ini, “dalam politik, yang menang jadi raja, yang kalah jadi maling”. Inilah politik, dan ternyata masih sangat pas menggambarkan kondisi politik di Indonesia sejak dulu sampai sekarang.

Saya dibesarkan di masa Orde Baru, bertahun-tahun sekolah sejak SD sampai lulus kuliah Presidennya cuman Soeharto, wakilnya saja yang berubah tiap 5 tahun. Dan partai pemenang pemilu juga selalu Golkar, sedangkan dua partai lainnya PPP dan PDI hanya pelengkap penderita saja. Saat pertama kali mempunya hak pilih 1992, saya dengan semangat memilih PDI hanya karena muak dengan hegemoni Golkar. Padahal sejak kecil sudah sering mendengar kampanye di kalangan keluarga Tionghoa untuk harus memilih Golkar, karena kalo PPP menang semua orang Tionghoa akan dipaksa masuk Islam dan kalo PDI yang menang maka akan terjadi kekacauan dan hidup akan susah. Bayangkan betapa hebatnya brainwash yang sudah dilakukan oleh Orde Baru sejak dulu. Tentu saja 1992 Golkar masih menang, dan 1997 pun menang mutlak lagi. Eh, saya mulai Golput sejak 1997 karena melihat percuma saja ikut pemilu, pemenang pasti Golkar bahkan sebelum pemilu dimulai.

Setelah kerusuhan 1998 dan kejatuhan Soeharto, saya melihat dengan nyata lagi pesan Papa soal politik, “yang menang jadi raja dan yang kalah jadi maling”. Itu yang terjadi pada Soeharto, keluarga dan kroninya, termasuk Prabowo yang harus mengasingkan diri ke Jordania. Keluarga Soekarno yang dinistakan selama Orde Baru, kini sudah meraih kembali derajatnya karena menang dalam politik. Keluarga Soeharto yang dinistakan selama orde reformasi, sedang mencari kesempatan untuk melepaskan ‘status maling’ untuk kembali menjadi raja. Mungkin hanya tersisa pengikut atau simpatisan PKI yang masih ternistakan sampai sekarang karena hebatnya brainwash Orde Baru yang berhasil menanamkan pemahaman kalo komunis itu tidak berTuhan atau berAgama, sesuatu yang sangat krucial di Indonesia.

Sikap skeptis saya terhadap proses politik di Indonesia, tentu tidak lepas dari perilaku politisi Indonesia yang jauh dari bermartabat dan konsisten. Salah satunya Amien Rais, yang sempat dikasih label Tokoh Reformasi. Coba, siapa yang ga sempat kagum sama pidato Amien Rais yang gagah berani menentang Pak Harto dan mencela keluarga dan kroninya. Tapi mari kita lihat Amien Rais sekarang, duduk di barisan paling depan pendukung Prabowo.

Saya pernah memandang hormat tokoh muda yang mewarnai politik Indonesia selama reformasi, diantaranya Anas Urbaningrum dan Andi Alfian Mallaranggeng, tapi lihat, ada di mana mereka sekarang.

Sila baca beberapa tulisan saya yang terkait, So called ‘Akademisi’ dan So Called Activist

Politik Indonesia sudah merusak banyak orang baik, kalaupun mereka pernah baik.

Tahun 2012, saya baru kembali menggunakan hak pilih saya dalam Pilkada DKI, memberikan suara kepada Jokowi – Ahok, karena ga mau jaman Foke berlanjut lagi. Sudah cukup kesempatan buat orang yang mengaku ahlinya untuk memperbaiki Jakarta.

IMG_20140706_153955_edit

Kini tiba waktunya untuk Pemilihan Presiden 2014. Sejak awal saya sudah membayangkan peluang Jokowi untuk maju Pilpres, waktu dia masih walikota Solo. ini bisa di trace ke posting saya di social media. Saya membayangkan Jokowi untuk maju ke DKI-1, sebagai etalase untuk maju di Pilpres 2019.

IMG_20140706_153942_edit

IMG_20140707_214907_edit

Tapi ternyata suratan takdir beliau lebih cepat 5 tahun. Dan sejak menang di Pilkada DKI dan menunjukkan kinerjanya sebagai Guberbur DKI membereskan beberapa masalah di DKI yang sebelumnya mustahil dibereskan seperti Tanah Abang dan Waduk Pluit dan Waduk Ria Rio. Nama Jokowi terus disebut dan paling favorit untuk Pilpres 2014, yang akhirnya ‘memaksa’ Megawati memberikan mandat kepada Jokowi untuk maju sebagai calon dari PDIP.

Persoalan paling ruwet berikutnya adalah menentukan siapa calon Wakil Presiden yang tepat untuk mendampingi Jokowi. Banyak tokoh diusulkan, diuji dengan berbagai survey. Akhirnya Jokowi memutuskan memilih JK sebagai wakilnya. Ini mengecewakan saya yang berharap Jokowi memilih wakil yang muda juga karena JK sudah 72 tahun, pernah jadi Wapres 2004-2009 yang mengalahkan Megawati dan JK juga maju Pilpres 2009 meskipun kalah. Persoalan umur JK ini menarik, kekhawatiran JK akan mencoba mendominasi perhatian seperti 2004-2009 mungkin tidak terulang lagi, krn JK ga mungkin maju 2019 lagi. Tapi JK adalah kader dan mantan Ketua Umum Golkar, partai warisan Orde Baru. Inilah beban yang harus dibawa rombongan Jokowi, apalagi dengan bergabungnya Wiranto, lengkaplah aroma Orde Baru nya. JK bisa saja genit kalo menang jadi Wapres, akan kembali menguasai Golkar sebagai Ketua Dewan Pembina Golkar, yang akan menyiapkan kadernya lagi untuk maju di 2019. Pemilihan JK sebagai cawapres adalah beban terberat yang akan dipikul Jokowi ke depan.

Video ini akan menjadi catatan sejarah dan bukti beginilah politisi kita, politisi Indonesia.

Salah satu cawapres yang paling potensial buat Jokowi menurut saya adalah Mahfud MD, salah satu orang dekat Gusdur. Entah karena apa Jokowi tidak memilih dia, apakah karena Mahfud juga dari Jawa, atau sekedar karena elektabilitasnya rendah atau entah karena alasan lain. Yang jelas, tidak memilih Mahfud ternyata adalah keputusan yang sangat tepat, karena Mahfud yang kecewa gagal jadi cawapres balik badan bergabung ke Prabowo membawa amarah dan dendam dan secara kalap menyerang balik, menunjukkan sisi aslinya yang berhasil dikemas baik selama ini. Politisi!

Banyaknya tokoh-tokoh yang bergabung mendukung Jokowi dengan berbagai agenda yang mereka bawa juga menjadi perhatian, untuk ragu ikut memilih Jokowi. Akankah Jokowi bertahan di antara kepungan kepentingan dari orang sekeliling yang mendukungnya semasa kampanye Pilpres ini. Sepanjang masa kampanye, saya terus menyorot beberapa tokoh ini sebagai dasar kenapa saya mengambil sikap Golput, karena saya menganggap “Percaya pada politisi Indonesia itu seperti pasang lotere, anda bisa saja beruntung, tapi harus sangat siap untuk kecewa“. Kalo di film, agen rahasia James Bond 007 punya ‘License to Kill’ maka politisi Indonesia itu seperti punya ‘License to Lie’ ijin untuk berbohong.

Kenapa saya hanya membahas pertimbangan memilih Jokowi atau Golput?

karena sejak awal saya sudah sering menyatakan “Orang waras pasti akan memilih Jokowi, tapi kalo orang ngerti akan Golput saja”

IMG_20140706_155328_edit

video penjelasan dari Hermawan Sulistyo, dosen UI, yang ikut Tim Gabungan Pencari Fakta kasus penculikan aktivis dan kerusuhan 1998

Sama sekali tidak ada alasan logis untuk memilih Prabowo, mantan Jenderal yang diberhentikan karena terkait langsung dengan kejahatan HAM, (mantan) menantu Soeharto, dan hampir semua partai koalisi pemerintahan yang bermasalah sekarang bergabung di sana kecuali PKB. Partai Demokrat-nya SBY yang gagal mengajukan calon, seperti biasa bimbang ragu ga jelas ke mana arah dukungannya. Di awal, secara terbuka SBY menyatakan Partai Demokrat netral, tapi secara terbuka pula kader PD mendukung dan menjadi timses Prabowo. Sampai akhirnya, PD secara terbuka menyatakan mendukung Prabowo Hatta, katanya dengan restu SBY. Maka lengkaplah masa lalu yang akan di bawa Prabowo, Orde Baru dan Orde SBY. Orde Kegelapan dan Orde Keprihatinan.

Prabowo yang akhirnya ‘terpaksa’ memilih Hatta sebagai wakil, karena sempat dinyatakan sebelumnya hendak memilih Mahfud atau Said Aqil, adalah kelucuan yang luar biasa karena 10 tahun terakhir Prabowo konsisten menyerang kebijakan ekonomi pemerintah, dan Hatta adalah Menko Perekonomian di kabinet sekarang. Lucu? Inilah Politik Indonesia.

Kelucuan politik ini menjadi paripurna, setelah secara mendadak Prabowo sering memuji pemerintahan SBY demi untuk menarik dukungan PD. Padahal selama 10 tahun terakhir, Prabowo adalah salah satu oposisi yang paling keras setelah Megawati. Bahkan SBY beberapa kali menyerang balik, menyindir soal Jenderal dengan catatan bermasalah.

Yang cukup mencemaskan juga adalah berkumpulnya seluruh kekuatan radikal mumet yang anti pluralisme, anti toleransi dan pemicu konflik beragama di kubu Prabowo. Mereka yang 10 tahun ini berulah dan dibiarkan oleh SBY, kini bersatu untuk memenangkan Prabowo dan diterima dengan terbuka olehnya. Ini sungguh mencemaskan masa depan Indonesia dan masa depan anak cucu kita.

Pasangan Capres Cawapres (622x800)

Selama masa kampanye, persaingan terjadi sangat ketat antara kedua calon, artinya masih banyak yang ga waras yah? hahahaha…..

Tapi inilah Indonesia Raya kita, dimana kita punya Presiden SBY selama dua periode hanya karena dia berpenampilan menarik dibandingkan calon lainnya dan berhasil menjual drama teraniaya. Hasilnya, selama 10 tahun kita punya Presiden yang penuh drama, curhat, curcol dan ga tegas saat diperlukan, kecuali bila menyangkut diri dan keluarganya sendiri.

Selama kampanye, berbagai fitnah ditujukan kepada Jokowi yang dituduh kafir/non muslim, keturunan Cina Singapore, terkait Yahudi, dituduh antek asing dan didukung pengusaha hitam. Tabloid khusus bahkan diterbitkan supaya bisa menyebar sampai ke pelosok. Ini sangat merepotkan Jokowi yang jadi sibuk klarifikasi. Tapi fitnah yang paling akhir dan paling keras adalah tuduhan PKI terhadap Jokowi dan PDIP. Kali ini PDIP dan Jokowi marah karena soal ideologi sulit klarifikasi, beda dengan soal H.Jokowi disebut Herbertus Jokowi keturunan Cina Singapore yang beragama Kristen. Menuduh Jokowi Kristen itu keterlaluan, tapi menuduh Jokowi sebagai keturunan Cina adalah ketololan luar biasa. Tapi repotnya, ternyata tidak sedikit yang termakan issue beginian, entah lah mereka lihat dari atas Monas pakai sedotan kali. Dan inilah Indonesia Raya kita.

Kampanye hitam dengan memainkan issue PKI ini jelas sangat mengusik. Lihat saja, banyak fanboys Prabowo yang ikut sibuk menyebarkan, bahkan banyak fanboys Jokowi pun seolah anggap remeh tuduhan ini. Mereka mungkin ga pernah baca sejarah, sebutan PKI itu bisa berakibat sangat sangat fatal bagi seseorang di Republik ini pada suatu masa, orang bisa kehilangan segalanya hanya akibat ‘tidak bersih diri’ atau bahkan hanya ‘tidak bersih lingkungan’. Jadi bukan hanya pada diri yang bersangkutan, tapi akan berdampak pada keluarganya juga, dari resiko kehilangan harta, hak politik, hak perdata bahkan hak hidup.

Setelah mempertimbangkan semua hal, mengikuti proses kampanye dan debat antara pasangan capres-cawapres sebanyak 5 kali yang diselenggarakan KPU, saya akhirnya memutuskan untuk menggunakan hak suara saya dalam Pilpres kali ini, semata untuk ikut mencegah kembalinya masa lalu Indonesia yang gelap dan berlanjutnya 10 tahun keprihatinan Indonesia yang tidak mampu melindungi keberagaman dan kebebasan beragama dari ancaman kelompok radikal yang sebenarnya minoritas di negeri ini.

Saya memutuskan untuk memberikan suara saya untuk JOKOWI!

Keputusan ini adalah keputusan pribadi yang subjektif namun diambil dengan pertimbangan dari informasi yang dikumpulkan seobjektif mungkin. Terus terang saya menaruh harapan pada Jokowi bisa memberi warna baru politik Indonesia, tapi saya pun ga tahu apakah beliau akan sanggup bebas dari kepentingan gerombolan politisi yang hari-hari ini di sekelilingnya dan turut membantunya selama proses kampanye ini. Jadi tulisan ini tidak akan digunakan untuk turut mempengaruhi siapapun, yang mau tetap Golput pun tetap saya hargai karena percaya politisi itu ibarat pasang lotere, iya saya pasang lotere untuk Jokowi dan berharap beruntung dan sudah siap bila tidak beruntung.

Tapi karena sejak Pileg April 2014, saya secara konsisten menyuarakan Golput, maka rasanya saya perlu menyampaikan sikap akhir saya ini secara terbuka sebelum Pilpres. Tulisan ini akan ditayangkan secara automatis pada tanggal 8 Juli 2014 jam 09.00, persis 24 jam sebelum Pilpres berlangsung, bukan untuk mempengaruhi siapapun kecuali yang memang mau dipengaruhi 🙂

Yang mau pilih no 1 silakan, no 2 silakan, mau Golput pun silakan. Inilah demokrasi.

Semoga Pilpres 2014 berlangsung damai.

Jokowi di GBK

Semoga Jokowi  terpilih dan bisa memimpin bangsa ini ke arah yang lebih baik dan punya cara untuk menghadapi gerombolan politisi di sekelilingnya sekaligus memberi warna baru bagi politik Indonesia yang kotor dan kejam.

Semoga Prabowo Hatta yang tidak terpilih bisa menerima dengan baik kekalahan ini. Sejarah sudah mencatat usaha keras anda 10 tahun terakhir, Jenderal!

Apapun hasilnya pemilu kali ini, semoga para fanboys mumet bisa menerimanya, kembali hidup normal dan pulih kecerdasannya yang terluka parah sepanjang masa kampanye :p

Salam damai 5 jari

BS

@Jakarta