Tentang Resesi Ekonomi Indonesia

Pandemi Covid-19 sejak Maret 2020 yang masih berlangsung sampai sekarang jelas sudah menghantam ekonomi kita. Banyak perusahaan terpaksa tutup dan atau memberhentikan sebagian atau seluruh karyawannya. Sampai sekarang, belum ada yang bisa estimasi dengan pasti kapan pandemi akan selesai.

Akhir bulan September lalu, yang ramai dibicarakan adalah soal resesi ekonomi yang akan melanda Indonesia.
Apa itu resesi ekonomi, berikut beberapa indikator yang jadi ukuran apakah suatu negara sudah mengalami resesi ekonomi :
1. Pertumbuhan ekonomi turun selama 2 kuartal berturut-turut.
2. Terjadi inflasi atau deflasi yang tinggi
3. Nilai impor lebih tinggi dari ekspor, defisit.
4. Tingkat pengangguran tinggi
5. Ketidakseimbangan antara produksi dan konsumsi

Dari indikator tersebut, Indonesia kabarnya sudah mengalami resesi ekonomi.
Pertumbuhan ekonomi kita sudah turun 2 kuartal berturut-turut. Pengangguran jelas bertambah akibat pandemi.

Yang pasti, pemerintah melalui Menkeu sudah memberikan konfirmasi bahwa Indonesia sudah mengalami resesi ekonomi. Ini yang biasanya jarang dilakukan oleh pemerintah dalam kondisi normal karena resesi ekonomi adalah indikator kegagalan pemerintah. Untuk itu, dibuatlah indikator yang banyak sehingga label resesi tidak mudah terjadi. Itu kalo dalam kondisi normal.

Apa yang mesti kita lakukan saat resesi ekonomi dalam skala mikro, ekonomi rumah tangga atau perusahaan?
Sederhananya adalah lakukan penghematan, efisiensi dan penyusunan skala prioritas pengeluaran, termasuk adalah pertimbangan extra untuk investasi baru. Karena kita tidak tahu pandemi dan resesi akan berlangsung sampai kapan, dan akan memburuk sampai separah apa.

Lalu bagaimana cara kita keluar dari resesi ekonomi secara makro, ekonomi nasional.
Tentu banyak yang bisa dan harus dilakukan.

Karena melemahnya ekonomi masyarakat akibat kehilangan pekerjaan atau lesunya ekonomi tentu akan mengakibatkan turunnya konsumsi masyarakat, salah satu indikator resesi, yang juga akan menyebabkan ketidakseimbangan produksi dan konsumsi, maka pemerintah biasanya akan menyalurkan berbagai paket bantuan ekonomi, baik tunai langsung ataupun berupa barang seperti bansos. Dengan bantuan tunai ataupun paket bansos, diharapkan konsumsi tetap terjadi, produksi terserap. Ekonomi berputar.

Di skala yang lebih besar, pemerintah melakukan deregulasi, ataupun berbagai kemudahan untuk dunia usaha, supaya bisa masuk investasi baru, ataupun usaha yang sudah ada bisa bertahan dan berkembang.

Menggerakkan ekonomi secara agresif di saat pandemi tentu akan membawa konsekuensi di bidang kesehatan. Ini adalah salah satu perdebatan utama mana yang lebih penting, kesehatan atau ekonomi?
Kalo terjadi bencana kesehatan, ekonomi juga pasti akan runtuh. Tapi kalo ekonomi runtuh duluan, kesehatan pasti akan ambruk juga. Perdebatan dasar ini masih berlangsung sampai sekarang.

Di tengah keruwetan seperti ini, pemerintah mengeluarkan kebijakan yang sangat menakjubkan yaitu CUTI BERSAMA di minggu ini.
Kita punya tanggal merah yang jatuh di hari Kamis, hari Jum’at jadi hari kejepit untuk mereka yang bekerja Senin – Jum’at, sehingga dengan cuti bersama di hari Jum’at, maka biar bisa long weekend. Libur sejak Kamis Jumat Sabtu dan Minggu.

Saya tidak paham logika berpikirnya, padahal kita sudah punya pengalaman 2x long weekend di bulan Agustus yang mengakibatkan peningkatan jumlah kasus akibat cluster long weekend. Lalu sekarang kita mau ngetest lagi, apakah akan terjadi lagi cluster long weekend?

Yang lebih tidak bisa saya pahami adalah, kalo Jum’at dijadikan cuti bersama karena hari kejepit, kenapa Rabu juga dijadikan cuti bersama? Kejepit juga?
Mungkin otaknya yang kejepit!

Setidaknya ada 2 Menteri yang sudah mengeluarkan Surat Edaran, Mendagri dan Menkes, terkait antisipasi peningkatan kasus akibat long weekend ini. Artinya resiko itu disadari.

Saya berusaha keras memahami logika cuti bersama ini.
Mungkin untuk menggerakkan ekonomi pariwisata?
Saya juga membaca soal kebijakan pemerintah yang menanggung airport tax di sekian bandara utama, supaya harga ticket turun.
Jadi sepertinya kebijakan cuti bersama ini supaya orang berwisata. Tapi tidak ada satupun narasi ini disampaikan secara terbuka oleh pemerintah.

Ini sangat berbeda dengan saat kebijakan cuti bersama di hari kejepit pertama dulu diterapkan. Masyarakat Indonesia didorong untuk berwisata, terutama ke Bali yang terpuruk akibat serangan teroris sehingga wisatawan mancanegara belum berani datang.

Jadi sekarang, pemerintah seperti lempar TANGAN sembunyi BATU.
Kampanye di rumah saja, jaga jarak, tetapi disaat yang sama ‘menyuruh’ liburan, naik pesawat dan berkumpul di tempat wisata?

Apakah kegiatan liburan ini menggunakan bantuan tunai dari pemerintah? tentu TIDAK. Artinya dari tabungan masing-masing.

Sekali lagi, dalam masa resesi ekonomi seperti ini, penghematan adalah STRATEGI KUNO menghadapi tantangan ekonomi.

Saya benar-benar mencoba memahami logika kebijakan cuti bersama di #RepublikLiburan ini. Kalo ada kawans yang paham, mohon berkenan sharing.